Oleh: B.A (Mahasiswa yg belum pernah mencicipi manisnya demokrasi kampus) xixix
LIDIJOURNAL.ID -Sudah dikecewakan dengan ketiadaan kinerja, dibohongi pula dengan pemalsuan SK.
Selamat malam, kawan-kawan sekampus. Gimana kabarnya malam ini? Masih nungguin chatmu dibalas sama dia? Awas hati-hati. Jangan terlalu menaruh harapan ke dia. Karena belum tentu harapanmu berbuah baik bagi dirimu. Soalnya nih ya, di kampus kita, mahasiswa (i) nya ternyata bukan cuma bisa malsuin perasaan, SK pun bisa dipalsuin loh hahaha.
Cukup kaget memang, melihat surat edaran kampus No. 033/Dir.III/200.01.11/III/2021 yang berisi klarafikasi atas pemalsuan SK BEM No. 504/Rek/200.03.11/X/2020 yang seketika membuat geger kalangan mahasiswa Unusia di grup prodinya masing-masing.
Pertanyaan demi pertanyaan, muncul seketika dibenak penulis, apakah dengan adanya pemalsuan ini dapat dikenakan sanksi? Dan, siapa yg layak mendapatkan sanksi? Atau memang hanya cukup penyampaian klarifikasi saja dari pihak kampus?
Penulis jadi teringat channel youtube Om Deddy Corbuzier yang kontennya berisi tempat penampungan bagi orang-orang yang ingin mengklarifikasikan sesuatu yang lagi viral.
Namun, sebelum lebih jauh masuk membahas pertanyaan di atas (bukan membahas channel Om Deddy ya), kiranya penting membedakan terlebih dahulu antara “membuat surat palsu” dengan “memalsukan surat”. Menurut R Soesilo dalam bukunya "Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal", menerangkan bahwa "membuat surat palsu" adalah membuat isinya bukan semestinya (tidak benar) atau membuat isinya sedemikian rupa sehingga menunjukkan asal surat itu yang tidak benar. Sedangkan, “memalsukan surat” adalah mengubah surat demikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli atau sehingga surat itu menjadi lain daripada yang asli.
Menurut hemat penulis, pemalsuan SK BEM No. 504/Rek/200.03.11/X/2020 adalah termasuk kategori "membuat surat palsu" karena telah membuat (bukan merubah) isi surat dengan sedemikian rupa. Nah, sekarang selanjutnya yang perlu diketahui adalah, apakah pemalsuan ini dapat menimbulkan akibat hukum? Penulis merujuk Pasal 263 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi: (1) _"Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Hmm.. Serem juga ya 6 tahun. Tapi sebentar, di ayat selanjutnya (2) menjelaskan "Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian."
Kerugian dalam ayat ini (2) dapat berarti dua hal, pertama kerugian materiil dan kedua, kerugian immateriil. Kerugian materil yaitu kerugian yang bisa dihitung dengan uang, kerugian kekayaan yang biasanya berbentuk uang, mencakup kerugian yang diderita dan sudah nyata-nyata ia derita. Sedangkan kerugian immateriil yaitu, kerugian yang tidak bisa dinilai dalam jumlah yang pasti. Seperti, rasa ketakutan, kehilangan kesenangan atau cacat anggota tubuh, dan kehilangan kesusilaan atau kehormatan.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah harus menimbulkan kerugian terlebih dahulu? Bagaimana jika tidak ada kerugian? Penulis merujuk kembali pendapat R Soesilo, Beliau memparkan, "Kata 'dapat' (dalam ayat 2) bermaksud tidak perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup. Yang diartikan kerugian di sini tidak saja hanya meliputi kerugian materiil, akan tetapi juga kerugian di lapangan masyarakat, kesusilaan, kehormatan, dan sebagainya (immateriil)." Dapat disimpulkan, kata “dapat” (dalam ayat 2 pasal 263) tersebut, sebenarnya sampai pada tahap kemungkinan saja akan ada kerugian, pelaku sudah dapat dihukum atas dasar pemalsuan surat.
Kerugian di sini tidak hanya berupa kerugian materiil, tetapi juga kerugian imateriil. Nah, jadi tidak perlu ada bentuk "kerugian" dahulu baru dapat dihukum.
Okeoke.. Terus, siapa yang dapat dihukum dari kegiatan pemalsuan ini? Menurut hemat penulis, dalam pasal ini tidak saja yang memalsukan dapat dikenakan hukuman, tetapi juga yang sengaja menggunakan surat palsu ini. Sengaja disini berarti orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu.
Terhitung kurang lebih 5 bulan, perpanjangan SK BEM periode 2019/2020 baru diketahui kepalsuannya oleh pihak kampus. Yaa, sebenernya bagus sih, gak terlalu lama. Yang penting ada kejelasan. Gak seperti dirinya, udah memalsukan perasaan, ditambah ketidakjelasan pula.
Tapi yaa, memang dalam praktiknya, adanya pemalsuan surat, diketahui setelah beberapa waktu sejak surat palsu tersebut dibuat atau digunakan. Sekarang kita (minimal) telah mengetahui bahwa surat itu palsu, lalu yg manakah surat yang asli (orisinil)? Setiap pembuatan sebuah surat palsu, tentunya ada yang dinamakan surat yang asli. Dalam artian, ada sesuatu yang orisinil dan kemudian ada kegiatan pemalsuan. Namun, sejauh ini penulis belum menemukan informasi mana yang aslinya. Terlebih, dalam surat edaran kampus No. 033/Dir.III/200.01.11/III/2021 tidak dicantumkan pula surat yang orisinil yang mana. Maka, seharusnya isi surat edaran kampus perlu mencantumkan pula SK yang orisinil. Sehingga terdapat kejelasan dalam fokus pembuktian. Kalau dianalogikan seperti ini, "Sing iki loh surat palsune dan sing iki loh surate sing dipalsukan."
Yaa, kurang lebih begitulah kepingan kompleksitas di kampus tercinta ini. Memang sih terkadang suasana keributan itu lebih baik daripada suasana ketenangan. Karena, keributan seringkali membuat kita lebih terjaga, daripada ketenangan yang seringkali membuat kita terlena.
Sekian dan semoga segala kepalsuan tidak terlalu larut menjadi budak dari obsesi nakal para oknum.
